Minggu, 06 Mei 2012

Jizah


Menurut penjelasan ulama, kata jizyah berarti pajak yang dipungut dari rakyat non Muslim merdeka dalam negara Islam, yang dengan pajak itu mereka mengesahkan perjanjian yang menjamin mereka mendapat perlindungan, atau suatu pajak yang dibayar oleh pemilik tanah. Kata jizyah berasal dari kata jaza artinya membalas jasaatau mengganti kerugian terhadap suatu perkara, atau terhadap perbuatan yang telah dilakukan (LL). Dalam Qur’an Suci, kata jizyah hanya disebutkan satu kali dalam satu ayat yang berhubungan dengan pertempuran dengan kaum Ahli Kitab: “Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah … yaitu golongan orang yang telah diberi Kitab, sampai mereka membayar pajak (jizyah) sebagai pengakuan kedaulatan, dan mereka dalam keadaan takluk (9:29). Dengan syarat membayar jizyah, Nabi Suci membuat perjanjian damai dengan kaum Majusi di Bahrain (Bu. 58:1), dengan Ukaidar, Pemimpin Kristen di Duma (AD. 19:29; IH), dengan pemerintah Kristen di Aila (IJ-H. III, hal. 146), dengan kaum Yahudi di Jarba’ dan Adruh (idem),[1] dan dengan kaum Kristen Najran (IS. T. I.ii, hal. 35). Tetapi dalam semua peristiwa tersebut, jizyah tidaklah dibayar oleh perorangan, melainkan oleh pemerintah mereka. Imam Bukhari mengawali kitabnya tentang jizyah dengan bab yang berjudul: “Jizyah dan perjanjian perdamaian dengan kaum ahlu-harb (kaum yang bertempur melawan kaum Muslimin)” (Bu. 58:1). Selanjutnya, Imam Bukhari dalam bab itu pula, menerangkan lebih jelas lagi: Dan yang berhubungan dengan perkara pemungutan jizyah dari kaum Yahudi, kaum Kristen, Majusi dan kaum non-Arab (al-‘ajm). Peraturan jizyah berlaku bagi semua golongan musuh, dan perilaku Nabi Suci sendiri menunjukkan, bahwa semua perjanjian perdamaian ditutup dengan persyaratan membayar jizyah, bukan saja dengan kaum Yahudi dan Kristen, melainkan pula dengan kaum Majusi. Nampak sekali dari sini bahwa kata ahlul-kitabyang digunakan dalam 9:29 yang dikutip di atas, harus diartikan lebih luas lagi, yakni mencakup semua penganut agama lain. Tetapi pada zaman Khalifah ‘Umar, jizyah yang pada mulanya dibayar oleh pemerintah, lalu diubah menjadi pajak perorangan. Kata jizyah diterapkan pula terhadap pajak bumi yang dipungut dari kaum Muslimin yang memiliki tanah pertanian. Tetapi ulama ahli fiqih membuat perbedaan antara pajak perorangan dan pajak bumi, dengan memberi nama kharaj bagi pajak bumi. Dua macam pajak ini merupakan sumber pendapatan utama bagi negara Islam. Adapun sumber lain ialah zakat yang dipungut dari kaum Muslimin sendiri.  
Jizyah bukanlah pajak agama  
Pada umumnya para penulis Eropa tentang Islam berpendapat, bahwa Qur’an hanya menawarkan salah satu di antara dua pilihan kepada kaum non-Muslim, yaitu masuk Islam ataukah dipenggal lehernya, tetapi kepada kaum Yahudi dan Kristen, Qur’an memberi kesempatan agak lebih baik, mereka tetap dibiarkan hidup asal mereka membayar jizyah. Pengertian jizyah semacam pajak agama, yang jika ini dibayar, kaum non-Muslim berhak mendapat jaminan hidup dari negara Islam, ini bertentangan sekali dengan ajaran pokok agama Islam, seakan-akan ini satu mitos bahwa kaum Muslimin diharuskan memerangi golongan non-Muslim, sampai mereka memeluk Islam. Sebelum Islam pajak telah dipungut dan hingga sekarang pun pajak itu tetap dipungut, baik oleh negara Islam maupun oleh negara non-Islam, yang semua itu tak ada sangkut-pautnya dengan agama yang mereka anut. Negara Islam banyak memerlukan keuangan seperti halnya negara non-Islam guna memelihara kesejahteraaan negara, dan untuk mencapai itu, negara Islam menempuh cara-cara yang dikerjakan oleh negara-negara non-Islam. Apa yang terjadi pada zaman Nabi Suci ialah, bahwa beberapa negara kecil non-Islam, apabila mereka ditaklukkan, mereka diberi hak untuk mengatur urusan mereka sendiri. Mereka hanya diminta supaya membayar pajak yang tak seberapa besarnya guna memelihara pemerintah pusat di Madinah. Alangkah besar murah hati Nabi Suci atas pemberian otonomi penuh kepada negara yang baru saja dikalahkan, sehingga dalam keadaan demikian, pembayaran pajak (jizyah) yang tak seberapa jumlahnya itu bukanlah suatu beban, melainkan sekedar hadiah belaka. Tak ada tentara pendudukan di negara yang baru di-kalahkan itu, dan tak pula mengadakan campurtangan dalam mengatur negara, baik undang-undangnya, adat-istiadat mapun agamanya. Dan dengan membayar pajak itu, pemerintah Islam bertanggung-jawab untuk melindungi negara-negara kecil terhadap serangan musuh. Seandainya negara-negara beradab seperti sekarang ini mengikuti teladan Nabi Muhammadsaw, niscaya lebih dari separoh bangsa-bangsa di dunia ini akan bebas dari penjajahan asing. Walaupun kaum Muslimin sesudah zaman Nabi Suci memandang perlu untuk mengatur pemerintahan di daerah yang mereka taklukkan, dan agar rakyat dapat menikmati jaminan perlindungan secara keseluruhan, dan keuntungan-keuntungan yang didapat dari pemerin-tah, rakyat diharuskan membayar pajak yang cukup lunak, yang disebut jizyah. Boleh saja dikatakan bahwa negara Islam membuat perbedaan antara golongan Muslim dan non-Muslim, tetapi justru sifat jizyah itulah yang memberi corak keagamaan. Memang nampaknya ada diskriminasi, tetapi ini tidak menguntungkan Muslim, tapi justru menguntungkan golongan non-Muslim. Kaum Muslimin diwajibkan memasuki dinas militer, dan harus bertempur mempertahankan negara, baik di negeri sendiri maupun di luar; selain itu, golongan Muslim diwajibkan membayar pajak lebih tinggi daripada pajak yang harus dibayar oleh golongan non-Muslim, seperti yang akan kami terangkan di bawah ini. Golongan non-Muslim dibebaskan dari wajib militer karena mereka telah membayar jizyah. Jizyah sebanyak setengah dinar setahun, ini terlalu sedikit sebagai imbalan dibebas-kannya mereka dari wajib militer. Kaum Muslimin, selain diwajib-kan memasuki wajib militer, mereka pun diwajibkan pula membayar zakat, yang ini jauh lebih berat daripada jizyah, sedang golongan non-Muslim hanya diwajibkan membayar jizyah yang tak seberapa besarnya, sebagai imbalan untuk menikmati keuntungan yang didapat dari pemerintah.Nama ahlud-dhimmah, makna aslinya orang-orang yang dilin-dungi yang diberikan kepada rakyat non-Muslim, yang berdomisili di negara Islam, atau yang diberikan kepada negara non-Islam yang dilindungi oleh pemerintah Islam, menunjukkan bahwa jizyah itu dibayar sebagai imbalan jaminan perlindungan. Dengan kata lain, jizyah ialah uang iuran dari golongan non-Muslim untuk kepentingan militer di negara Islam. Pada dewasa ini tak ada satu pemerintah pun yang tak membebani rakyatnya untuk membiayai tentara. Ada satu riwayat yang menerangkan bahwa suatu pemerintah Islam pernah mengembalikan uang jizyah kepada rakyat yang harus dilindunginya, karena pemerintah tak dapat memberi perlindungan lagi kepada mereka. Pada waktu tentara Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah terlihat dalam suatu pertempuran dengan Kerajaan Romawi, mereka terpaksa mengundurkan diri ke Hims, yang mereka taklukkan sebelumnya. Tatkala mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan Hims, Abu Ubaidah memanggil kepala daerah itu, dan mengembali-kan semua uang yang telah beliau terima sebagai jizyah, sambil berkata, karena kaum Muslimin tak dapat memberi perlindungan lagi, maka mereka tak berhak menerima jizyah.Selanjutnya nampak sekali bahwa bebas wajib mliter itu hanya diberikan kepada golongan non-Muslim, sebagaimana ini dikehendakinya, karena jika golongan non-Muslim diharuskan bertempur untuk membela negara, mereka harus dibebaskan dari jizyah. Misalnya, kaum Bani Taghlib dan orang-orang Najran, dua-duanya dari golongan Kristen, mereka tak membayar jizyah (En. Is.). Memang kaum Bani Taghlib ikut bertempur bersama pasukan Islam di medan tempur Buwaib pada tahun 13 Hijriah. Kemudian pada tahun 17 Hijriah mereka menulis surat kepada Khalifah ‘Umar agar diperbolehkan membayar zakat sebagai ganti jizyah, yang pada waktu itu lebih berat daripada jizyah. Dalam buku Caliphate, tuan Muir menulis: “Atas kemurahan ‘Omar, usul mereka disetujui; dan kaum Bani Taghlib menikmati hak istimewa yang dalam penilaian Kristen tak seberapa, sungguh imbalan yang tak seberapa itu amat memalukan” (hal. 142). Pada zaman Khalifah ‘Umar disetujui pula wajib militer bagi Jurjan, sebagai pengganti jizyah. Syahbaraz, kepala daerah Armenia, juga mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum Muslimin dengan syarat seperti itu.  
Insiden jizyah
 Menilik cara-cara dipungutnya uang jizyah menunjukkan bahwa jizyah adalah pajak pembebasan dari wajib militer. Golongan berikut ini dibebaskan dari pembayaran jizyah, yaitu (1) kaum perempuan, (2) anak laki-laki yang belum dewasa, (3) orang lanjut usia, (4) orang cacat karena suatu penyakit (zamin), (5) orang lumpuh, (6) orang buta (7) orang melarat (faqir) yang tak mampu berusaha (ghairai-mu’tamil) (8) budak belian, (9) budak belian yang bekerja untuk memerdekakan sendiri (mudbir), dan (10) para rahib (H.I. hal, 571-572). Selain itu, “pada abad pertama … banyak sekali orang yang dibebaskan dari pajak, kendati kami tak tahu sebab-sebabnya” (En. Is.). Sebagaimana telah kami terangkan di muka, kaum non-Muslim yang setuju untuk memasuki dinas militer, di-bebaskan dari jizyah; dua fakta itu, yaitu golongan non-Muslim yang tak mampu menjalani dinas militer, dan yang berbadan sehat yang setuju untuk memasuki dinas militer, jika diambil secara keseluruhan, sampailah kita kepada kesimpulan, bahwa jizyah adalah pajak yang dibayar oleh kaum Dhimmiyang mampu berperang, sebagai imbalan atas dibebaskannya mereka dari wajib militer. Jika kita tinjau, untuk apa uang jizyah boleh digunakan? Sampailah kita kepada kesimpulan yang sama, bahwa uang jizyah digunakan untuk memperkuat garis depan, atau untuk membuat ben-teng di garis depan (saddut-thaghur), atau untuk membuat jembatan, atau untuk membayar qadli (hakim) dan Gubernur, dan untuk meme-lihara pasukan dan anak-anak mereka (H.I. hal. 576). Kendati yang dibebaskan dari jizyah begitu banyak, namun tarif jizyah amatlah rendah, yaitu hanya satu dinar per orang setahun. Nilai satu dinar[2] kira-kira sama dengan sepuluh Rupis (uang India penj.) atau empatpuluh dirham setahun, atau empat dirham sebulan. Berikutnya ialah orang yang membayar dua dinar setahun, atau dua dirham sebulan. Tarip yang paling rendah ialah satu dinar setahun, yang mula-mula ditetapkan bagi semua orang. Tarip tersebut adalah menurut mazhab Hanafi. Adapun madzhab Syafi’i tetap pada tarip semula, yaitu satu dinar seorang setahun tanpa kecuali (H). Tiga golongan pembayar jizyah tersebut diterangkan: (1) Orang kaya (Zhahirul-ghina), artinya, orang yang benar-benar kaya, yang memiliki kekayaan yang melimpah, sehingga ia tak perlu bekerja untuk mencari nafkah; (2) orang yang kecukupan, yang me-miliki kekayaan, tetapi harus masih bekerja untuk mencari nafkah; (3) orang miskin yang tak memiliki kekayaan, tetapi berpenghasilan lebih dari cukup untuk kebutuhannya sendiri. Sudah jelas bahwa kaum Muslim harus membayar pajak yang lebih berat, karena di samping harus membayar zakat sebanyak duasetengah persen, mereka dikenakan pula wajib militer. Sebaliknya, jizyah hanyalah dipungut dengan cara yang amat simpatik. Pada suatu hari Sayyidina ‘Umar melihat seorang kafir dhimmi meminta-minta, dan pada waktu ditanya, ia menjawab bahwa ia mengerjakan itu untuk dapat membayar jizyah. Lalu oleh sayyidina ‘Umar, ia bukan hanya dibebaskan dari jizyah, melainkan pula ia diberi uang tunjangan yang diambil dari kas negara. Di samping itu, sayyidina ‘Umar memerintahkan agar semua kafir dhimmi yang keadaannya seperti dia, harus diberi uang tunjangan. 
Islam, jizyah, ataukah pedang 
Mitos tentang perang yang dilakukan oleh Khalifah permulaan dapat dihilangkan sehubungan dengan pembahasan masalah jizyah tersebut. Pada umumnya orang mengira, bahwa kaum Muslimin bergerak ke luar untuk menyiarkan agama dengan pedang, dan balatentara Islam menyerbu ke semua daerah dengan semboyan: Islam, jizyah, ataukah pedang. Sudah tentu ini gambaran yang diputarbalikkan dari kejadian yang sebenarnya. Jika kaum Muslimin benar-benar keluar dengan semboyan tersebut di atas, dan menghayati semboyan itu, mengapa banyak kaum non Muslim yang bertempur dalam barisan Islam dan tak membayar jizyah, bahkan mereka tinggal di tengah-tengah masyarakat Islam, bahkan ikut bertempur bersama mereka. Ini adalah bukti yang tak dapat disangkal lagi bahwa teori tentang kaum Muslimin menawarkan pilihan apakah Islam, jizyah ataukah pedang, adalah teori yang sudah usang. Adapun yang benar ialah oleh karena kaum Muslimin melihat Kerajaan Romawi dan Persi berniat untuk menaklukkan tanah Arab dan ingin menghancurkan Islam, kaum Muslimin menolak syarat-syarat perdamaian apabila di dalamnya tak disebutkan suatu syarat bahwa mereka tak akan mengulangi serangan; dan syarat yang dituntut oleh kaum Muslimin adalah jizyah, yang ini merupakan pengakuan kalah di pihak mereka.
Tak ada pertempuran yang pernah dilancarkan oleh kaum Muslimin dengan memakai syarat itu kepada tetangga yang suka damai; sejarah membuktikan kebenaran itu. Tetapi apabila pertempuran sudah berkobar yang disebabkan serangan pihak musuh, yang dibuktikan dengan serbuan mereka ke wilayah Islam atau mereka membantu musuh Islam, maka wajarlah apabila kaum Muslimin tak mengakhiri pertempuran sebelum kemenangan tercapai. Kaum Muslimin mendambakan agar pertumpahan darah tak terulang lagi setelah musuh dikalahkan, hanya jika mereka mau mengaku kekalahan mereka dan mau membayar jizyah, sekedar persembahan bukan ganti rugi perang yang amat menggencet sebagaimana terjadi pada zaman sekarang ini. Jadi, tawaran untuk mengakhiri permusuhan dengan syarat membayar jizyah adalah perbuatan kasih sayang terhadap musuh yang ditaklukkan. Tetapi jika tawaran membayar jizyah ditolak oleh negara yang kalah, maka kaum Muslimin tak mempunyai pilihan lain selain menggunakan pedang, sampai musuh ditaklukkan secara tuntas. Kini tinggallah suatu pertanyaan, apakah tentara Islam pernah menyerukan agar para musuh memeluk Islam? Dan apakah ini suatu pelanggaran jika tentara Islam berbuat demikian? Sudah dari sejak awal, Islam adalah agama yang harus disiarkan, dan setiap orang Islam menganggap itu suatu hak mutlak untuk berdakwah kepada orang lain supaya memeluk Islam. Para muballigh Islam ke mana pun mereka pergi, memandang itu suatu kewajiban nomor satu untuk menyiarkan Islam, karena mereka merasa bahwa Islam memberi hidup baru dan memberi keteguhan batin kepada manusia, dan Islam memecahkan masalah yang pelik dan rumit yang terdapat pada setiap bangsa. Memang benar bahwa Islam ditawarkan pula kepada musuh yang sedang bertempur, tetapi tak benar jika dikatakan bahwa Islam disiarkan dengan pedang, mengingat tak ada satu contoh pun dalam sejarah, bahwa Islam dipaksakan kepada para tawanan perang; demikian pula tak pernah terjadi bahwa kaum Muslimin menyampaikan pesan kepada negara tetangga yang suka damai bahwa mereka akan diserbu jika mereka tak mau memeluk Islam.
Pedoman petunjuk tentang perang 
Pedoman petunjuk yang diberikan oleh Nabi Suci kepada pasukan beliau menunjukkan bahwa pertempuran beliau bukanlah ditujukan untuk memaksakan Islam. Ada satu Hadits yang berbunyi: “Abdullah bin ‘Umar meriwayatkan, bahwa dalam suatu pertem-puran yang dilakukan oleh Nabi Suci terdapat seorang perempuan di antara mereka yang menjadi korban. Atas kejadian itu, Nabi Suci melarang membunuh perempuan dan anak kecil” (Bu. 56:174-178). Hadits yang melarang membunuh perempuan dan anak kecil diulang berkali-kali dalam Kitab Hadits (AD. 15:112;Tr. 19:19; Ah. I, hal. 256; Ah. II, hal. 22-23; Ah. III, hal. 488; M. 32:6). Nah, seandainya perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin ditujukan untuk memaksakan Islam kepada para musuh, mengapa perempuan dan anak-anak harus dikecualikan? Sudah tentu akan lebih mudah untuk memasukkan mereka dalam Islam jika mereka ditakut-takuti dengan pedang, karena perempuan dan anak-anak tak mampu mengadakan perlawanan, tidak seperti laki-laki yang biasa bertempur. Kenyataan adanya larangan untuk membunuh sejumlah duapertiga penduduk yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, membuktikan bahwa perang kaum Muslimin bukanlah ditujukan untuk memaksakan Islam. Dalam beberapa Hadits, selain perempuan dan anak-anak, ditambah pula ‘asif (orang yang dipekerjakan pada tentara), untuk menunjukkan bahwa selain perempuan dan anak-anak, kaum Muslimin dilarang pula membunuh orang yang direkrut oleh tentara sebagai ‘pekerja’ (Ah. III, hal. 488; Ah. IV, hal. 178; AD. 15:112). Ada Hadits lagi yang menerangkan bahwa kaum Muslimin dilarang membunuh syaikh fani (orang lanjut usia) yang tak mampu berperang (MM. 18:5-ii). Para rahib tak boleh disakiti (Ah. I, hal. 300). Hanya dalam suatu pertempuran malam saja Nabi Suci memaafkan terbunuhnya perempuan dan anak-anak secara tidak disengaja, karena “mereka berkumpul dengan kaum laki-laki” (Bu. 56:146). Adapun yang dimaksud oleh Nabi Suci ialah, kemungkinan terjadinya pembunuhan sukar sekali disingkiri, karena pada malam yang gelap, sukar sekali membedakan antara laki-laki dan perempuan sebagai prajurit dengan perempuan dan anak-anak. Guna melengkapi contoh tersebut di atas, berikut ini kami kutip satu contoh dari buku Spirit of Islam, karya Sayyid ‘Amir ‘Ali. Pada waktu Nabi Suci memberangkatkan pasukan untuk menghadapi tentara Romawi, beliau memberi instruksi: “Dalam membalas serangan yang dilancarkan terhadap kita, janganlah kamu menganiaya para penghuni harem yang tak berdosa; selamatkanlah kaum perempuan; jangan melukai anak yang masih menetek dan orang yang sedang sakit. Jangan merobohkan tempat kediaman penduduk yang tak mengadakan perlawanan; jangan memusnahkan bahan makanan mereka dan pohon buah-buahan mereka; dan jangan pula merusak pohon kurma” (hal. 81). Kepada komandan pasukan di Syria, sayyidina Abu Bakar memberi instruksi: “Apabila kamu berhadapan dengan musuh, bertempurlah dengan jantan, dan jangan sekali-kali mundur. Dan jika kamu memperoleh kemenangan, janganlah kamu membunuh anak-anak, orang lanjut usia, dan kaum perempuan. Jangan memusnahkan pohon kurma, dan jangan pula membakar ladang gandum, jangan menebang pohon buah-buahan, dan jangan pula membinasakan ternak, terkecuali beberapa ekor yang kamu sembelih untuk bahan makanan kamu. Jika kamu membuat perjanjian atau pengumuman, tepatilah itu, dan jadilah teladan yang baik seperti yang kamu ucapkan. Dalam perjalanan, kamu akan menjumpai beberapa orang yang tekun menjalankan agama yang hidup menyendiri dalam biara, yang membulatkan tekad untuk me-ngabdi kepada Allah secara itu. Biarkanlah mereka itu, dan janganlah kamu membunuh mereka dan menghancurkan biara mereka” (hal. 81).  
Tawanan Perang 
Perlakuan terhadap tawanan perang seperti yang digariskan oleh Qur’an dan Hadits, membuktikan pula suatu kenyataan, bahwa paham menyiarkan Islam dengan pedang tidaklah dikenal samasekali oleh arti perang secara Islam. Apabila pertempuran yang dilakukan oleh Nabi Suci dan para Khalifah permulaan itu dimaksud untuk menyiarkan Islam dengan kekuatan senjata, niscaya maksud itu akan mudah tercapai dengan memaksakan Islam kepada para tawanan perang yang berada dalam kekuasaan kaum Muslimin. Namun ini tak diizinkan oleh Qur’an suci yang menggariskan seterang-terangnya agar mereka dibebaskan. Qur’an berfirman: “Maka apabila kamu berhadapan dengan kaum kafir dalam pertempuran, penggallah leher mereka; lalu jika kamu mengalahkan mereka, jadikanlah mereka tawanan perang, lalu sesudah itu bebaskanlah mereka sebagai anugerah atau dengan uang tebusan, sampai pertempuran meletakkan senjata (47:4). Dari ayat tersebut terang sekali, bahwa izin menawan tahanan hanya diberikan selama masih berkecamuk pertempuran. Sekalipun izin diberikan, namun tawanan perang tidak selamanya dijadikan budak, melainkan harus dimerdekakan sebagai anugerah, atau dengan membayar uang tebusan. Nabi Suci melaksanakan perintah itu pada waktu beliau masih hidup.[3] Pada waktu perang Hunain, 6000 tawanan perang dari kabilah Hawazin dimerdekakan semua sebagai karunia Nabi Suci (Bu. 40:7; IJ-H. III, hal. 132). Seratus keluarga dari Bani Mustaliq ditawan dalam pertempuran Muraisi, dan mereka semua dibebaskan tanpa membayar uang tebusan (IJ-H. III, hal 66). Dalam perang Badar telah ditawan sejumlah 70 orang, dan hanya dalam peristiwa ini sajalah mereka dituntut uang tebusan, tetapi mereka terus dimerdekakan sekalipun pertempuran dengan kaum Quraisy masih akan terus berkobar (Ad. 15:122;Ah. I, hal. 30). Adapun tebusan yang diterima dari sebagian tawanan perang Badar ialah, mereka disuruh bekerja sebagai guru untuk memberi pelajaran membaca dan menulis (Ah. I, hal. 247; Z.I. hal. 534). Jika tak ada lagi pertempuran, dan keadaan telah damai kembali, maka semua tawanan harus dibebaskan.  
Perbudakan dihapus 
Selain itu, ayat 47:4 juga menghapus perbudakan. Biasanya perbudakan itu terjadi karena adanya serbuan dari kabilah kuat terhadap kabilah lemah. Islam tak memperbolehkan serbuan itu, atau menawan orang dengan jalan serbuan. Menahan orang hanya dapat dilakukan pada waktu terjadi pertempuran biasa; sekalipun demikian tawanan itu tak boleh ditawan selama-lamanya. Setelah pertempuran selesai, orang diwajibkan membebaskan tawanan, baik sebagai karu-nia maupun dengan tebusan. Jadi menawan orang itu hanya boleh dilakukan selama masih berkobar keadaan perang. Setelah perang selesai, tak boleh lagi ada tawanan.Nama yang diterapkan terhadap tawanan perang ialah ma malakat aimanukum, makna aslinya apa yang dimiliki oleh tangan kanan kamu. Apa yang dimiliki oleh tangan kanan, artinya apa yang diperoleh oleh penguasa yang menang; tawanan perang dinamakan demikian, karena mereka dijadikan rakyat taklukkan oleh penguasa yang menang dalam pertempuran. Mereka juga dinamakan ‘abd (budak), karena mereka kehilangan kemerdekaan. Perbudakan boleh dikatakan telah dihapus oleh peradaban, tetapi ini hanya teorinya saja, karena sampai sekarang perbudakan itu tetap ada, karena bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan diperintah oleh bangsa itu sebenarnya juga perbudakan. Dalam Islam, perlakuan terhadap tawanan perang atau budak belian itu tak ada taranya. Tidak ada bangsa atau masyarakat lain yang dapat memperlihatkan perlakuan seperti yang dilakukan oleh Islam terhadap budak belian, bahkan pula terhadap anggota masyarakat sendiri apabila yang satu menduduki kedudukan sebagai majikan, sedang yang lain sebagai pelayan. Memang benar bahwa budak belian atau tawanan perang diharuskan mengerjakan suatu pekerjaan, tetapi syarat-syarat kerja yang harus ia lakukan janganlah menimbulkan rasa hina pada diri mereka. Dengan kata-kata yang terang, Nabi Suci menggariskan aturan yang indah untuk memperlakukan mereka sebagai saudara. Dalam satu Hadits diuraikan: “Ma’rur berkata: Aku berjumpa dengan Abu Dhar, di Rabdlah, dan ia memakai pakaian, dan budaknya memakai pakaian yang sama. Aku bertanya kepadanya tentang ini, ia menjawab: Pada suatu hari aku memaki-maki dia dan mengecamnya karena ibunya (yakni menyebut dia sebagai anak Negro perempuan). Nabi Suci bersabda kepadaku: Wahai Abu Dhar, engkau memaki-maki dia karena ibu-nya. Sungguh engkau masih jahiliyah. Budakmu itu saudaramu juga; Allah menempatkannya dalam kekuasaanmu. Maka barangsiapa saudaranya berada dalam kekuasaannya, hendaklah ia memberi makan kepadanya seperti  yang ia makan sendiri,dan memberi pakaian kepadanya seperi yang ia pakai sendiri, dan jangan sekali-kali memberi pekerjaan kepadanya yang ia tak mampu melakukannya, dan jika engkau memberi pekerjaan kepadanya bantulah ia mengerjakan pekerjaannya” (Bu. 2:22). Para tawanan perang dibagi-bagi kepada masing-masing keluarga, karena pada waktu itu pemerintah Islam tak mempunyai biaya untuk merawat mereka, namun demikian, mereka diperlakukan penuh hormat. Seorang tawanan perang mengatakan bahwa ia diserahkan kepada seorang keluarga yang keluarga itu memberi roti kepadanya, sedang mereka sendiri hanya makan kurma (IJ-H. I, hal. 287). Oleh karena itu, tawanan perang bukan saja harus dimerdekakan, melainkan selama mereka ditawan, mereka diperlakukan dengan penuh hormat. 
Perang harus dilakukan secara jujur 
Dari uraian tersebut di atas, mengenai perkara perang dan damai, terang sekali bahwa Islam mengakui adanya perang sebagai pergolakan antar bangsa – suatu perjuangan yang amat mengerikan – yang kadang-kadang diperlukan karena kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Jika pergolakan itu terjadi, suatu bangsa dibebani tanggung-jawab dalam perkara itu secara terhormat, dan harus bertempur habis-habisan. Islam tak mengizinkan kepada umatnya untuk memancing-mancing pertempuran, dan tak mengizinkan pula mendahului menyerang, tetapi apabila pertempuran dilancarkan terhadap Islam, Islam menyuruh umatnya supaya mengerahkan segala kekuatan untuk membela diri, Tetapi apabila musuh minta damai setelah pertempuran berkobar, kaum Muslimin tidak boleh menolak, sekalipun kejujuran musuh amat diragukan. Tetapi selama pertempuran masih berkobar, itu harus dituntaskan hingga selesai. Oleh Qur’an Suci kaum Muslimin diperintahkan untuk berlaku jujur dalam bertempur sekalipun terhadap musuh. Qur’an berfirman: “Dan janganlah kebencian mereka – karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid Suci – menyebabkan kamu melanggar; dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan kebaktian, dan janganlah kamu saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan (5:2). “Dan janganlah kebencian orang-orang mendorong kamu untuk berlaku tak adil. Berlaku adillah kamu; ini lebih dekat kepada taqwa (5:8). Ayat tersebut tercantum dalam Surat yang diturunkan menjelang wafatnya Nabi Suci. Hadits juga memerintahkan supaya berlaku jujur dalam pertempuran. “Bertempurlah, dan janganlah kamu memotong-motong tubuh, dan jangan pula membunuh anak-anak” (M. 32:2). Itu adalah sebagian dari peraturan yang membersihkan petempuran dari unsur-unsur kebiadaban dan kelaliman yang banyak dilakukan oleh berbagai bangsa yang saling berperang. Jadi, Islam tak mengizinkan perbuatan yang tak berperikemanusiaan dan tak sopan. Kadang-kadang orang mengutip satu Hadits yang seakan-akan mengizinkan kaum Muslimin menipu dalam pertempuran. Ini disebabkan orang salah menafsirkan kalimat-kalimat Hadits itu. Menipu dan berdusta[4] itu dalam segala keadaan dilarang. Adapun Hadits yang dimaksud, berbunyi: “Rasulullah saw bersabda: Chosroes akan binasa, dan sepeninggal dia tak akan ada Chosroes lagi, dan Caesar akan binasa, dan sepeninggal dia tak aka ada lagi Caesar, dan harta kekayaan mereka akan dibagikan di jalan Allah, dan dia menyebut pertempuran sebagai tipu-daya (khad’atan)” (Bu. 56:157). Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi Suci pada waktu beliau menerima laporan bahwa Chosroes merobek-robek surat beliau dan memerintahkan supaya menangkap beliau. Kata-kata itu mengandung ramalan bahwa kekuasaan Chosroes dan Caesar akan lenyap dalam pertempuran melawan kaum Muslimin, dan sepeninggal mereka, tak akan ada lagi kerajaan Persi di bawah Chosroes dan tak ada pula kerajaan Romawi di bawah kekuasaan Caesar. Ternyata penutup Hadits tersebut yang berbunyi: “dan dia menyebut pertempuran sebagai tipu-daya” hanyalah menjelaskan bagaimana Chosroes dan Caesar akan binasa. Perang adalah tipu-daya dalam arti bahwa negara besar kadang-kadang memerangi negara kecil, karena mengira bahwa negara kecil itu mudah dihancurkan, tetapi ternyata negara besar itu tertipu, dan malahan mendatangkan kehancuran pada negara besar itu sendiri. Ini terjadi dalam pertempuran Persi dan Romawi melawan kaum Muslimin. Mereka serentak melancarkan serangan terhadap bangsa Arab, karena mengira bahwa dalam sekejap mata mereka dapat menghancurkan kekuatan baru di tanah Arab. Mula-mula mereka dapat membantu kabilah di garis depan untuk menghalau kekuatan Islam, dan akhirnya mereka terlibat dalam pertempuran dengan kaum Muslimin yang berakhir dengan hancurnya kekuasaan mereka. Inilah penjelasan yang diberikan dalam tafsir Bukhari yang amat terkenal, yakni dalam Kitab‘Aini, yang berbunyi: “Sekali orang tertipu dalam pertempuran, ia kehabisan tenaga dan akhirnya binasa, dan tak mungkin dapat kembali pada keadaan semula” (Ai. VII, hal. 66). Imam Ibnu ‘Atsir memberi tiga macam keterangan, sesuai dengan bunyi kata-katanya, yaitu Khad’ah, atau khud’ah atau khuda’ah, ketiga-tiganya hampir sama artinya seperti yang diuraikan dalam kitab ‘Aini. Jika diambil ucapan yang pertama, yang konon disebut paling benar dan paling baik, artinya ialah: “Adapun arti kata pertama, ialah bahwa perang itu ditentukan oleh kehancuran, sekali orang yang berperang dihancurkan, ia tak dapat ditangguhkan lagi” (N). Karena hanya kurang sempurnanya pengetahuan bahasa Arab sajalah yang menyebabkan sebagian orang mengira bahwa Hadits tersebut mengizinkan perbuatan menipu dalam pertempuran. Sebenarnya, perang secara Islam itu bersih dari segala sesuatu yang tak pantas, karena kaum Muslimin diberitahu seterang-terangnya, bahwa perang yang ditujukan untuk mendapat keuntungan (baik dalam bentuk harta kekayaan maupun perluasan daerah), bukanlah perang di jalan Allah (Bu. 56:15). Qur’an Suci menguraikan lebih jelas lagi: “Maka dari itu, biarlah orang-orang berperang di jalan Allah yang telah menjual kehidupan dunia untuk akhirat” (4:74).  
Sumber referensi dan singkatan:
AD ; Sunan Abu Dawud
AH; Tafsir Bahrul-Muhith, oleh Abdullah Muhammad  bin Yusuf, biasanya dikenal dengan Abu Hayyan
Ah; Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal
Ai; ‘Umdatul-Qari, oleh Badrudin Mahmud bin ahmad, Al-‘Aini, Hanafi
BU;  Sahih Bukhari, oleh Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, al-Bukhari
En, Is; The Ensiklopaedia of Islam
H; Al-Hidayah, oleh Abul-Hasan Ali bin Abi Bakar, al-Marghinani
Hi; Hijjatullah al-Balighah, oleh Syah Waliyullah, Muhaddats Dahlewi
Ibnu Hajar; Nazhatun Nazhar Syarh Nukhbatul-Fikr
Ij-H; Jami’ul Bayan fi Tafsiril-Qur’an, oleh Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari
IH; Siratun-Nabawiyyah, oleh Abu Muhammad Abdul Malik bin Muhammad bin Hisyam
Is-T; Kitabut-Tabaqat al-Kubra, oleh Muhammad bin Sa’ad
LL; Arabic-English Lexicon
M; Sahih Muslim, oleh Imam Abu H; Husain Muslim bin Hajjaj
MM; Misykatul Mashabih, oleh Syeikh Waliyyuddin Muhammad bin Abdillah
Tr; Jami’at-Tirmidhi, oleh Imam Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa

 [1]. Duma, Aila, Jarba dan Adruh adalah daerah-daerah yang letaknya di per-batasan Syria. Perjanjian perdamaian itu dibuat pada waktu ekspedisi Tabuk, pada tahun 9 Hijriah.
 [2]. Dinar adalah mata uang koin emas, yang beratnya lebih kurang 65,4 grains troy (1 grains troy = 372,242 gram).
 [3]. Sekalipun dalam Qur’an Suci dicantumkan perintah agar semua tawanan perang dibebaskan, dan sekalipun Nabi Suci tak pernah membunuh seorang tawanan pun, bahkan membebaskan mereka sebagai karunia, namun Pendeta Klein menulis dalam bukunya Religion of Islam: “Kaum kafir yang ditawan dalam pertempuran yang tak mau memeluk Islam, mereka boleh dibunuh atau ditawan terus … Atau dimerdekakan dengan syarat, bahwa mereka dijadikan Dhimmi, terkecuali kaum penyembah berhala dan kaum murtad yang harus dibunuh” (hal. 179). Ini adalah keterangan yang sungguh tak ada dasarnya samasekali.
[4]. Hadits yang menerangkan bahwa dalam tiga peristiwa, Nabi Ibrahim berkata dusta. Ini harus ditolak, mengingat bahwa Qur’an Suci khusus menekankan akan kejujuran dan ketulusan beliau dengan menyebut beliau siddiq, artinya orang yang amat tulus atau orang tulus yang tak pernah berdusta. Imam Razi menolak Hadits itu dengan alasan bahwa akan lebih masuk akal untuk menyebut rawi yang meri-wayatkan Hadits itu sebagai pendusta daripada mengatakan dusta kepada Nabi Allah (Rz. VII, hal. 151). Peristiwa tentang disebutnya Nabi Ibrahim sebagai orang yang berkata dusta, telah kami uraikan dalam Kitab Tafsir Qur’an Suci. Lihatlah 21:63; 37:89; dan 19:41).

0 komentar:

Posting Komentar