Minggu, 20 Mei 2012

Manusia Bukan Pencetak Uang

Teman yang Paling Aku Sukai Adalah,,,? teman yang Mau Menunjukkan Kesalahanku....???
Prof. Muhammad Yunus (Peraih Nobel Perdamaian 2006)PENAMPILANNYA bersahaja dan tidak berjarak dengan siapa pun. Padahal, dia adalah seorang profesor ekonomi yang juga menjadi bankir. Kesederhanaan serta sikap egaliter yang terpancar dari tampilan fisik Prof. Muhammad Yunus, paralel dengan apa yang telah dikontribusikannya bagi jutaan rakyat Bangladesh.

Secara nyata, Yunus mampu mendobrak "menara gading" dunia akademis pendidikan tinggi serta keangkuhan model ekonomi yang semata menghamba pada capital, tetapi menafikan fundamen kemanusiaan. Tanpa banyak berwacana apalagi sekadar menuai popularitas dan benefit politis, ia terjun langsung menyentuh kaum papa yang selama ini termarginalkan.
Anugerah Nobel Perdamaian 2006 bagi sosok murah senyum yang selalu mengenakan pakaian khas Bengali ("baju koko" plus rompi) itu adalah bukti konkret atas apa yang selama ini dikerjakannya. Bersama seluruh staf Grameen (bahasa Bengali yang berarti pedesaan) Bank, Yunus berhasil melepaskan ribuan rakyat Bangladesh dari belenggu kemiskinan. Konsep perbankan konvensional mampu didekonstruksi oleh Yunus, sehingga mampu mewujudkan berdirinya bank yang dikhususkan melayani kaum miskin.
Apa yang telah dilakukan Yunus tersebut dipandang melebihi perjuangan kandidat penerima Nobel Perdamaian 2006 lainnya seperti Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, serta mediator perdamaian yang juga mantan Menlu Australia Gareth Evans.
Mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton juga pernah mengatakan bahwa Yunus berhak mendapatkan Nobel Perdamaian. Lebih dari itu, AS, biang kapitalisme global, juga patut menerapkan model ala Yunus untuk membangun kembali perekonomian kota-kota di wilayah bagian AS.
Jejak yang ditorehkan Yunus tidak berjalan serta-merta. Sejak awal 1970-an, seiring kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan, Yunus rela mengucurkan sebagian besar kekayaannya untuk membantu permodalan bagi rakyat miskin lewat Grameen Bank. Mulai 1976 Grameen Bank resmi beroperasi dengan memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin di Bangladesh, khususnya perempuan, tanpa jaminan.
Konsep perbankan yang dikembangkan Grameen Bank, kata Yunus, memang menjadi antitesis dari konsep perbankan konvensional. Jika perbankan konvensional hanya "berani" memberikan kredit pada nasabah yang memiliki uang, sebaliknya dengan bank pedesaan yang dirintis Yunus.
"Bank kami khusus melayani rakyat miskin. Mereka juga tidak harus dipusingkan dengan kelengkapan berbagai dokumen, setumpuk kertas yang harus diisi. Yang paling penting, mereka tidak perlu memiliki agunan (collateral). Bagaimana mau memberikan agunan, barang kecil pun mereka tidak punya."
Ia bahkan berani menjamin bahwa kredit yang diberikan untuk rakyat miskin lebih terjamin pengembaliannya (repayment) dibandingkan dengan kredit untuk orang kaya. Tak pelak, julukan sebagaibanker the the poor alias "bankir untuk kaum jelata" disandang pria yang menikah dengan Afrozi Yunus, seorang peneliti di Universitas Manchester, dan dikaruniai 2 anak.
**
PADA Rabu (8/8), Prof. Yunus menyampaikan kuliah umum (public lecture) bertajuk "Kredit Kecil untuk Mengentaskan Kemiskinan" (Microcredit for Poverty Reduction) di Gedung Merdeka Jln. AsiaAfrika, Bandung, Rabu (8/8). Kegiatan tersebut bagian dari peringatan Dies Natalis Ke-50 Universitas Padjadjaran Bandung.
Banyak hal yang bisa dipetik dari paparan tanpa teks lebih dari 1 jam dalam bahasa Inggris, yang disampaikan pria yang lahir pada 28 Juni 1940 di Chittagong, Bangladesh ini. Tak semata soal bagaimana ia merintis pendirian Grameen Bank. Pemihakannya pada kaum papa serta wanita, tetapi juga fundamen-fundamen filosofis tentang hakikat pendidikan serta kemanusiaan.
"Setiap usaha ekonomi yang kita lakukan harus senantiasa diarahkan bagi kebaikan manusia itu sendiri. Bisnis memang diupayakan untuk mengeruk keuntungan. Akan tetapi, juga harus diingat, manusia bukanlah mesin pencetak uang (human being is not a making money machine). Pada diri manusia harus selalu muncul iktikad untuk membantu manusia lainnya," tuturnya.
Peraih gelar Ph.D., bidang ekonomi dari Vanderbilt University di AS pada 1969 ini menuturkan perjuangannya mengentaskan rakyat Bangladesh dari jerat kemiskinan dimulai ketika ia memutuskan kembali ke negerinya, seiring kemerdekaan Bangladesh pada 16 Desember 1971. Semula ia bergabung dengan Komisi Perencanaan Pembangunan Nasional Bangladesh yang dipimpin Nurul Islam. Namun, ia kemudian memilih bergabung dengan Universitas Chittagong dan menjadi dekan fakultas ekonomi.
Pada 1974, Bangladesh dilanda bencana kelaparan dahsyat. Semula, kata Yunus, ia dan civitas academica kampus tak terlalu memerhatikan pemberitaan koran tentang kematian akibat kelaparan di banyak wilayah pedesaan di wilayah utara.
"Tapi, kemudian, rangka tubuh manusia mulai bergeletakan di rel-rel kereta api dan stasiun bus di ibu kota negara, Dhaka. Perlahan kelaparan menjadi wabah dan bencana yang meluas. Orang-orang yang lapar berada di mana-mana. Ketika mereka duduk di jalanan, tak jelas lagi apakah masih hidup atau sudah mati. Semua memiliki gambaran yang serupa, laki-laki, perempuan, anak-anak. Orang tua mirip anak-anak, anak-anak juga mirip orang tua."
Mereka yang kelaparan, Yunus menegaskan, tak butuh slogan atau dogma. Banyak cara untuk mati, tetapi meregang nyawa akibat kelaparan bukanlah cara yang bisa diterima. "Semua berlangsung perlahan. Detik demi detik, jarak antara hidup dan mati semakin dekat dan dekat, sampai pada titik saat kita tak lagi bisa membedakan antara keduanya," kata Yunus.
Yang paling memilukan adalah bayi kecil yang sejatinya belum memahami misteri kehidupan, dibiarkan menangis dan terus menangis menahan lapar, dan akhirnya tertidur sendirinya tanpa susu yang dibutuhkan untuk tetap bertahan. "Tanpa pernah tahu pada hari berikutnya, apakah ia masih memiliki kekuatan atau tidak untuk terus hidup."
Yunus mengaku, sebagai profesor ekonomi ia biasa memberikan kuliah dengan berbagai teori yang dianggap mampu menyelesaikan semua jenis masalah sosial. Akan tetapi, sejak bencana kelaparan pada 1974, ia sendiri mulai meragukan semua bahan kuliahnya. Kuliah yang selalu dipaparkannya, menurut dia, mirip skenario film Hollywood, di mana yang baik pastilah menang. Akan tetapi, ketika ia keluar dari ruang kuliah yang nyaman, dia berhadapan dengan kenyataan sebaliknya. "Di pinggiran jalan, orang-orang baik justru kalah dan terjerembap. Kehidupan sehari-hari kian buruk dan mereka yang miskin justru semakin miskin. Sementara itu, yang kaya terus menumpuk kekayaan."
Tak satu pun dari teori ekonomi yang dipelajarinya mencerminkan kenyataan kehidupan di sekelilingnya. Beruntung, kampus baru Universitas Chittagong terletak di wilayah penggiran, dekat dengan pedesaan. Salah satu yang terdekat dengan kampus adalah Desa Jobra.
"Kedekatan kampus dengan Jobra menjadi pilihan sempurna untuk pembelajaan baru dalam hidup saya. Saya memutuskan kembali menjadi mahasiswa dan penduduk Jobra adalah para profesor saya. Saya bersumpah untuk belajar sebanyak mungkin dari kehidupan nyata rakyat jelata di desa," kata Yunus.
Yunus menegaskan paradigma pendidikan selama ini justru kian menjauhkan jarak antara kampus perguruan tinggi dan kenyataan keseharian masyarakat. Kampus akhirnya hanyalah seonggok arogansi menara gading dan menjadi sumber ekslusivisme baru, alih-alih menjadi garda depan untuk mengangkat keterpurukan rakyat. Hakikat pendidikan yang mestinya membebaskan manusia, malah mengerangkeng mereka untuk mengedepankan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Dari terjun langsung ke lapangan dan menyentuh kehidupan kaum marginal pedesaan, pendirian Grameen Bank mulai dirintis. Tentu, kata Yunus, semula banyak pihak yang skeptis dengan konsep pinjaman khusus bank untuk kaum miskin. Pun ketika ia membuktikan keberhasilan program itu pada Desa Jobra, tetap saja skeptisisme bermunculan. "Misalnya, itu kan hanya satu desa, bagaimana kalau 2 sampai 5 desa, apakah akan berhasil?" ujarnya.
Akan tetapi, bahkan ia sendiri tak pernah membayangkan, program kredit mikro yang dikembangkannya melalui Grameen Bank mencapai keberhasilan seperti saat ini. Jumlah nasabah mencapai 7,4 juta kaum miskin di seluruh Bangladesh dengan jumlah pinjaman mencapai 6 miliar dolar AS. Tingkat pengembalian mencapai 99 persen.
"Pendampingan secara ketat adalah kunci kepastian tingkat pengembalian pinjaman. Bank menggunakan sistem 'kelompok solidaritas'. Kelompok informal kecil ini mengajukan pinjaman bersama dan sama-sama menjadi penjamin pengembalian kredit. Dus, mereka bersama-sama pula menjaga dan memberdayakan pinjaman sehingga menjadi sumber produktif bagi kehidupan mereka," paparnya.
Di atas semua itu, Yunus menegaskan, kepercayaan (trust) adalah inti dari keberhasilan konsep pemberdayaan masyarakat miskin melalui program mikrokredit. Kejujuran adalah nomor satu dan pengorbanan bagi manusia lainnya merupakan kredo yang tak sekadar wacana, tetapi dijalankan dengan nyata.
Di akhir kuliah umumnya, Muhammad Yunus menegaskan bahwa kemiskinan tidak tercipta karena warga miskin itu sendiri. "Mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua kalangan untuk bangkit, bekerja, dan berkreasi sesuai dengan kemampuan masing-masing," ungkapnya.
**
USAI menyampaikan kuliah umum, Prof. Yunus juga bersedia melakukan wawancara dengan para wartawan, termasuk Pikiran Rakyat. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di Ruang VIP 3 Gedung Merdeka Bandung, Rabu (8/8) lalu. 
Sejak reformasi bergulir di Indonesia pada 1999, kami mengalami banyak kemajuan dalam aspek politik. Kini kami memilih kepala daerah hingga presiden secara langsung. Ironisnya, kemajuan politik tak lantas paralel dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan masih menjadi problem utama negeri kami?
Saya sudah beberapa kali datang ke Indonesia. Saya melihat sudah banyak perubahan, banyak kemajuan yang dicapai, baik perubahan fisik pembangunan, perubahan pada diri anak-anak mudanya, perubahan masyarakat, maupun perubahan politik. Banyak sisi positif yang sudah dicapai dan kini Indonesia harus terus didorong untuk melangkah ke masa depan.
Saya selalu tertarik dengan isu kemiskinan, hak-hak perempuan, kemajuan anak muda. Itulah sebabnya kehadiran saya ke sini juga diwarnai berbagai diskusi tetang isu yang memang masih menjadi persoalan di negara berkembang.
Upaya memerangi kemiskinan memang harus semakin diupayakan, karena saya yakin setiap warga Indonesia tak mau membawa terus kemiskinan seluas samudra. Oleh karena itu, saya selalu menyatakan kita bahkan harus memimpikan pada suatu saat kemiskinan hanyalah ada di museum. Untuk melakukan itu, kita harus membuat arah dan tujuan yang nyata. Katakanlah kita ingin bebas dari kemiskinan pada 2030, maka pada 2010, 2011, dan seterusnya kita sudah harus melakukan langkah-langkah nyata ke arah itu. 
Bagaimana tentang konsep kepemimpinan?
Kepemimpinan sangat penting terutama untuk membimbing kita ke arah yang kita tuju. Kita perlu seseorang yang bisa membimbing ke tujuan yang kita inginkan. Tapi ingat, sampai ke tujuan kita, bukan semata tujuan orang yang kita pilih sebagai pemimpin. Kita memilih seseorang sebagai pemimpin, karena kita yakin ia bisa membawa kita ke tujuan yang kita inginkan. Itulah makna penting seorang pemimpin.
Akan tetapi, seorang pemimpin tidak akan bermakna apa-apa jika kita malah "tidur". Saat kita "tertidur", bisa saja kita malah terperosok dan jatuh. Kekuasaan nyata tetap ada di "tangan" kita. Rakyat yang merancang, membuat cetak biru (blue print) Indonesia seperti apa yang kita inginkan. Dan, kita mengatakan pada pemimpin kita, jika Anda mampu membawa kami ke tujuan kami, Anda kami pilih sebagai pemimpin. 
Bagaimana korupsi di Bangladesh?
Korupsi juga jadi persoalan besar di Bangladesh. Mengacu pada laporan Transparency International, kami termasuk salah satu negara peringkat teratas dalam praktik korupsi. Tapi, pertanyaannya, siapa yang nyata-nyata melakukan korupsi itu? Saya berani mengatakan hanya 1 persen dari warga negara Bangladesh, sebab 99 persen rakyat Bangladesh adalah orang-orang yang jujur. Mereka bekerja keras, memeras keringat, untuk mengubah taraf hidup mereka.
Jadi, jangan hanya karena ulah mereka yang hanya 1 persen itu, kita menjadi terpuruk. Jangan! Kita harus terus maju dan menata kehidupan kita lebih baik. Mereka yang korupsi itu hanyalah mereka yang punya posisi penting, seperti para pejabat pemerintah, politisi, atau pengusaha "hitam". Kita harus mengubah kondisi ini dengan perhatian serius terhadap upaya pemberantasan korupsi. (Erwin Kustiman/"PR")***

Sumber: Pikiran Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar