Jumat, 12 Oktober 2012

Rujuk Dalam Pandangan Agama Islam


Bismillahirrahmirahim…
Hari ini (kamis 22 Jul 2009) jam 2 dinihari, saya masuk kota makassar setelah menempuh perjalanan sejauh 3477km, keliling sulawesi selatan dan tengah hingga ke kabupaten buol dengan gorontalo…
Tujuan utama touring kali ini adalah memperbaiki SIMGAJI di kabupaten Buol karena perubahan format NIp dari 9 Digit menjadi 18 Digit dan sedikit upgrade karena ada menu baru sebagai bahan usulan DAU untuk gaji ke pusat.
Semua sesuai rencana 4 hari disana saatnya pulang ke makassar namaun singgah dulu di kampung kelahiranku Toli-toli..
Ringkas cerita saja diajak berkunjung ke salah-satu saudara (masih tetangga) dimana Ibunya adalah adik dari kakekku alias bapak Ibuku entah saudara apa namanya…
Beliau (maaf saya samarkan namanya demi kebaikan sebagai “LasaOgi”), ternyata sudah setahun berpisah dengan istrinya, dimana istri dan anak2-nya sudah pindah kerumah orang tua istrinya.., tinggal dia selama ini hidup dalam serba kemandiarian yg dipaksakan karena semua harus diurus olehnya. Untungnya “lasaOgi” seoang PNS.
Hasil curhat dengan saya selama 3 jam saya dapat menarik kesimpulan bahwa “penyebab utama retaknya hubungan manis keluarga ini adalah ‘Sang istri setelah menyelesaikan pendidikan sebagai bidang merasa lebih berkuasa dan sang suami yg notabene hanya bergolongan IIB.” (ini kesan yg saya peroleh paling tidak dari sang LasaOgi)
Bersama Om (adik Ibu) yg juga sebaya dengan saya saya kemudian berkunjung ke Istrinya (maaf nama saya samarkan jadi “NonaOgi”), hasil curhat ternyata sangat menunjang alibi saya yang pertama, akan tetapi Sang Istri merasa itu hanya perasaan sang suami yang merasa kurang diperhatikan…, sedikit lebih demokrat…
Ada kesepakatan bahwa mereka diajak rujuk dengan tanpa syarat, konsep yg kami tawarkan adalah kedua belah pihak lebih diajak mengkoreksi dan mencoba saling menerima dan mengalah sehingga tidak diperlukan lagi syarat-syarat lagi untuk rujuk ini..
Hari ini saya hunting persoalan rujuk dalam pandangan Islam, dan hasilnya seperti dibawah ini:
NIKAH, TALAK, RUJUK-SIGHAT TA’LIK.
SESUDAH AKAD NIKAH, (IJAB QOBUL) SEORANG PENGANTEN PRIA DIWAJIBKAN SIGHAT
TA’LIK, (BERJANJI DIDEPAN PENGHULU DAN DISAKSIKAN OLEH ORANG BANYAK)..
SIGHAT TA’LIK TERSEBUT ADALAH:
Sesudah akad nikah, saya . . . . . . . . bin . . . . . . . (nama penganten
pria), berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya
sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama . . . .. . . .
. . . binti . . . . . . . .(nama penganten wanita) dengan baik (mu’asyarah bil
ma’ruf) menurut ajaran syari’at agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1)-Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
(2)-Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
(3)-Atau saya menyakiti badan / jasmani istri saya itu.
(4)-Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan
lamanya.Kemudian istri saya tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan
Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau Petugas tersebut, dan istri saya
itu membayar uang (…. . . . .berapa yang tercantum/ tertulis di Buku Nikah),
sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya (penganten pria), maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang
‘iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah social.
Sebaiknya seorang istri yang sudah ditinggal lama dan tidak diberi nafkah lahir
maupun batin, maka sebaiknya mengajukan gugatan cerai dahulu ke Pengadilan
Agama.
Dengan alasan seperti yang tertera didalam sighat ta’lik diatas. Kalau sudah
mendapat bukti cerai resmi dari Kantor Pengadilan Agama, mantan suaminya tidak
akan bisa menggugat kepada istrinya.
Sebab apabila sewaktu-waktu suami pulang menuntut istrinya, secara hukum
istrinya menang.
Memang secara Hukum Agama sudah sah cerai tanpa surat, berdasarkan Sighat
ta’lik tersebut diatas.
Sesudah punya Surat Bukti Cerai, calon suami yang baru tidak was-was lagi untuk
meminangnya.
Lebih baik, segala sesuatu itu ada bukti pencatatannya, melalui Departement
yang terkait.
Talaq atau cerai adalah perbuatan yang haram hukumnya, kecuali bila keadaan memaksa dan tidak ada pintu keluar yang lain kecuali hanya pintu talaq, barulah halal hukumnya. Itu pun tetap dengan ditambahi sifat bahwa Allah SWT membencinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq. (Riwayat Abu Daud)
Dan juga hadits berikut ini:
Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq. (Riwayat Abu Daud)
Kedua hadits ini sungguh telah menjelaskan bagaimana hukum talaq yang asalnya haram. Namun atas alasan tertentu menjadi halal.
Talaq Harus Dijatuhkan Secara Bertahap
Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga kali, dengan dua syarat:
1. Syarat Pertama
Bahwa tiap kali talaq dijatuhkan, harus dalam keadaan isteri dengan suci dari haidh. Bila talaq dijatuhkan dalam keadaan isteri sedang haidh, maka hukumnya haram dan berdoa, meski tetap jatuh talaq juga.
2. Syarat Kedua
Pada saat dijatuhkan talaq dalam masa suci, tidak boleh sebelumnya telah disetubuhinya. Seorang suami tidak boleh menyetubuhi isterinya sejak suci dari haidh bila ingin mentalaq isterinya.
Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalam iddah, maka dia boleh merujuknya, tanpa harus menikah ulang. Cukup baginya merujuknya begitu saja denga niat dalam hati. Masa ”iddah itu sendiri adalah masa tenggang sebelum ikatan pernikahan benar-benar terlepas. Lamanya bagi wanita yang ditalaq oleh suaminya adalah selama 3 kali masa suci dari haidh.
Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis ”iddah, dia masih bisa untuk kembali kepada isterinya itu, tetapi harus dengan aqad baru lagi dan juga mahar baru lagi.
Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut diperkenankan kawin dengan orang lain.
Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan di atas.
Dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (karena masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (karena sesudah habis iddah).
Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahwa perceraian antara keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin.
Oleh karena itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kawin dengan orang lain secara syar`i. Bukan sekedar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang pertama tadi.
Dari sini kita tahu, bahwa menjatuhkan talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari tuntunan Islam yang lurus.
Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil bersabda:
Apakah dia mau mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah! Apakah tidak saya bunuh saja orang itu!” (HR An-Nasa`i)
harapan saya dalam waktu yang tidak lama mereka akan kami pertemukan di bulan suci ramadhan untuk kembali serumah dan membina rumah tangga yang zakinah….
Wallahu a”lam bishshawab wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



0 komentar:

Posting Komentar